Lukisan Batin Kecilnya
Oleh: P.
Senja mulai menghilang. Bulan tampak bersinar ditemani oleh ribuan bintang-bintang kecil yang gemerlapan. Malam ini, hawa dingin mencekam membalut tubuh kami di dalam ruangan kos yang sempit. Aku bersama ibu hanya duduk diam, tak saling memandang maupun berucap sepatah-dua patah kata apapun. Hening, hanya terdengar suara televisi dari ruang tamu milik ibu kos yang semakin nyaring mengisi kesunyian. Aku ingin memulai pembicaraan, namun bingung tentang topik apa yang harus kuungkapkan.
Jujur, di dalam batin ini masih perih termakan sebuah kesalahan besar yang telah ataupun tanpa sadar kulakukan. Mengenai penolakan beberapa hari yang lalu ketika ayah menyuruh ibu untuk ikut pergi menemaniku di perantauan. Saat itu, dengan mati-matian dan emosi yang memuncak aku menolak. Dengan gaya sok kuat yang kutampakkan, kuungkapkan bahwa aku bisa mengurus diriku sendiri. Namun, ucapan beberapa hari yang lalu ketika aku masih berada di kampung halamanku itu bagaikan ludah yang kutelan kembali.
Aku salah, benar-benar salah. Membuat ibuku mengucurkan air mata, menangis sejadi-jadinya melihat ketegaranku yang kubuat-buat. Sekaligus menahan sedih akibat ungkapan penyesalanku kembali ke rumah. Saat itu ibu terlihat kecewa. Namun aku dengan kekerasan kepalaku tetap tak mau kalah dan dianggap lemah.
Awalnya, aku meremehkan penyakit ini. Flek paru? Apa itu flek paru. Mungkin itu hanya istilah kedokteran yang masih biasa saja. Bukan hal yang harus sampai hiper dikhawatirkan. Akhirnya, akupun bersikeras kembali ke perantauan untuk meneruskan studiku kelas 12 semester dua dengan kondisi yang tidak dapat dikatakan baik. Saat itu sakitku kambuh dan menempuh perjalanan sambil menahan rasa sakit. Tubuhku demam tinggi dan batukku tak kunjung berhenti. Ketika tiba di bandara, temanku sampai harus menggantikanku membawa barang karena khawatir dengan kondisiku saat itu.
Tiga jam menunggu bus datang untuk meneruskan perjalanan ke asrama rasanya bagaikan menunggu selama 1000 tahun. Agak lebay, tapi itulah yang kurasakan. Aku notabenenya seorang yang tidak pernah pingsan, bersyukur karena masih memiliki kesadaran hingga perjalananku selesai. Walau pada akhirnya, tubuhku melemas dan langsung ambruk saat tiba di asrama.
Aku berusaha membuktikan ucapanku. Satu hari, dua hari, kulalui kehidupan di asramaku dengan tegar memulihkan kondisi tubuhku. Namun, bukannya bertambah sehat, tubuhku semakin lemah, kurus, pucat, bahkan wajahku sudah sangat asing oleh diriku sendiri. Bibirku kering, pecah-pecah, bahkan luka dan berdarah. Aku merasa seperti zombie yang hidup sebagai manusia. Ditambah lagi, batukku yang tak kunjung sembuh dan menyiksaku terutama di malam hari. Aku tidak bisa tidur bahkan sulit untuk bernapas. Dadaku nyeri dan terasa panas dari dalam terutama ketika aku mengeluarkan dahak yang bercampur dengan darah.
Hari ketiga, aku merasa harus mencari jalan keluar demi kesembuhanku. Aku sadar, sekarang aku kelas 12 dan telah memasuki semester dua. Artinya, tak lama lagi aku akan dipadatkan oleh aktivitas ujian. Alhasil, kuambil handphone-ku dan mulai mengetik di mesin pencarian mengenai obat herbal untuk flek paru. Namun, sesuatu mengejutkanku. Sulit dipercaya. Aku benar-benar bodoh. Ketika muncul artikel yang menjelaskan bahwa flek paru merupakan nama halus yang diberikan untuk TBC membuatku langsung tersungkur dan tak mampu mengatakan apa-apa. Dan tanpa diprogram oleh otakku, air mataku tumpah begitu saja.
Hari itu merupakan hari tersulit yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku masih tidak percaya dengan apa yang menimpaku. Bagaimana? Bagaimana bisa? Penyakit mematikan ini ada di dalam tubuhku? Bagaimana? Bagaimana dengan teman-temanku di asrama? Sangat beresiko untuk tinggal di asrama karena aku paham benar bagaimana penyakit ini menular. Aku hanya tidak tahu jika nama lain dari penyakit TBC adalah flek paru. Aku benar-benar bodoh. Disitulah aku mengumpat kepada diriku sepuas-puasnya.
Tanganku bergetar, ketika kuambil kembali ponselku dan mengetik sebuah nama disana. Aku bingung, aku takut, mana mungkin aku menelpon ibuku untuk memintanya kemari setelah aku mengatakan hal bodoh beberapa hari yang lalu? Tapi, aku benar-benar kehilangan akal dan tidak tahu mesti meminta pertolongan kepada siapa? Mana mungkin aku memberitahu teman-temanku mengenai penyakitku. Aku takut mereka meninggalkanku karena jijik dan takut tertular. Alhasil, kubuang harga diriku dan kujilat kembali ludah yang telah kubuang. Kutelpon ibuku dan aku menangis sejadi-jadinya menceritakan perasaanku dan memintanya menemaniku di perantauan ini.
Sekarang, disinilah ibuku. Duduk disampingku di dalam sepetak kos kecil berukuran 2×3 meter. Kecil memang apalagi harus ditempati berdua. Aku langsung memutuskan untuk keluar asrama karena takut akan menularkan penyakitku ini kepada teman-temanku. Dan ibuku pun berkorban langsung keluar dari pekerjaannya untuk menyusulku demi merawatku, anak semata wayangnya. Tidak ada rasa takut akan tertular walau kami berinteraksi jarak dekat, tidur berhadap-hadapan, dan bahkan ia rela terjaga tengah malam demi melayaniku jika aku terbangun karena batukku. Kemudian ia menangis saat tidurku sambil mendoakan kesembuhanku.
Kini, aku benar-benar bersyukur ibu ada disampingku. Ingin aku menangis sejadi-jadinya dan berlutut memohon ampunan darinya. Penyakit ini merupakan cobaan terbesar yang kuterima. Dan aku sangat berterimakasih kepada ibuku yang rela meninggalkan segalanya demi kesembuhanku. Namun, bukan berarti ayahku di sana tidak melakukan apa-apa. Aku tahu, perasaan ayah di sana lebih kacau dan hancur. Terpisahkan oleh jarak pasti membuat pikirannya terpecah-pecah antara memikirkan pekerjaan dan juga memikirkan anak-istrinya diperantauan. Aku tahu dan paham benar, pasti ini sangat berat baginya terutama mereka berdua.
Aku yang terlanjur putus asa mendapatkan penyakit ini terpaksa harus kuat demi menebus dosaku kepada mereka. Aku harus membayar semua pengorbanan yang telah mereka lakukan dengan kesembuhan. Kukorbankan diriku untuk meminum pil dosis tinggi setiap pagi yang bahkan aku sangat sulit menelannya karena ukurannya yang besar. Bahkan rambutku yang rontok layaknya orang yang menjalani kemoterapi akibat mengonsumsi pil tersebut. Menjaga asupan makanku dan menaikan berat badan yang terus saja susut. Kemudian memakai masker setiap waktu dan merahasiakan penyakitku ini dari teman-temanku. Semua itu harus kulakukan selama minimal enam bulan kedepan. Entah, apakah aku akan sanggup melakukannya. Terutama merahasiakan penyakit ini. Aku hanya merasa dihantui rasa takut jika banyak teman-temanku yang pergi. Namun, kutahu aku masih punya semangat. Semangat yang datang dari kedua orang tuaku. Kini, yang bisa kulakukan hanyalah berdoa dan terus berdoa demi kesembuhanku, dan kesehatan kedua orang tuaku. Karena sekarang aku sadar, kesehatan adalah kunci dari segalanya.
“Ibu, maafkan aku…”
Sebuah kata yang begitu mengganjal dihati kini lolos dari mulutku. Tanpa sadar air mataku tumpah tak sanggup lagi menahan sandiwara ketegaran ini. Ibuku pun begitu. Ia tak kuasa menahan tangisnya dan langsung mendekapku dalam pelukan hangatnya. Cobaan ini, mungkin aku memang tidak sanggup jika harus melaluinya sendiri. Namun, jika ada ibu, dan ayah yang mendukungku, aku yakin semuanya akan berlalu dan meninggalkan banyak hikmah. Aku tahu ini berat, dan mungkin banyak orang di luar sana berputus asa. Begitu pula denganku. Tapi kesempatan untuk sembuh itu selalu ada jika kita menginginkannya. Aku teringat perkataan seorang kawan beberapa bulan yang lalu ketika aku menderita typhus. “Sehatmu lebih lama dari pada sakitmu. Oleh karena itu, bersyukurlah dan jadikan sakitmu sebagai masa peleburan dosa-dosamu.”
-Selesai-